Biodiesel B50 Berpotensi Angkat Harga Sawit Nasional Lebih Tinggi

Kamis, 16 Oktober 2025 | 09:03:23 WIB
Biodiesel B50 Berpotensi Angkat Harga Sawit Nasional Lebih Tinggi

JAKARTA - Kebijakan energi hijau Indonesia kembali mencuri perhatian setelah pemerintah menargetkan penerapan mandatori biodiesel 50% (B50) pada semester kedua tahun 2026.

Program ini diperkirakan akan menjadi dorongan besar terhadap kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar global sekaligus mendongkrak pendapatan petani sawit di dalam negeri.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menilai bahwa penerapan B50 bukan hanya langkah strategis menuju kemandirian energi, tetapi juga berkaitan langsung dengan peningkatan kesejahteraan petani.

“Tentu hal ini akan mendongkrak harga CPO dan dengan naiknya harga CPO, otomatis harga Tandan Buah Segar (TBS) petani juga ikut terdorong. Karena acuan harga TBS ini adalah harga CPO,” ujar Gulat.

B50 Dinilai Jadi Pemicu Lonjakan Harga CPO dan TBS

Sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki pengaruh signifikan terhadap harga global. Peningkatan konsumsi domestik melalui program biodiesel dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menjaga stabilitas harga CPO di pasar internasional.

Apkasindo mencatat bahwa sejak kebijakan mandatori biodiesel B30, B35, hingga B40 diberlakukan, tren kenaikan harga CPO terus terjadi secara konsisten.

“Secara rata-rata harga CPO naik Rp1.000–1.500 per kilogram, sementara harga TBS meningkat Rp300–500 per kilogram setiap kali bauran biodiesel naik,” jelas Gulat.

Dengan penerapan B50, potensi peningkatan harga CPO dan TBS diprediksi akan semakin terasa di tingkat petani. Ia mencontohkan, saat mandatori B30 diterapkan, harga TBS berada di kisaran Rp1.800–Rp2.200 per kilogram, sedangkan kini telah mencapai rata-rata Rp2.600–Rp3.800 per kilogram.

“Artinya, dampaknya sangat nyata bagi kami para petani sawit. Apalagi Presiden Prabowo telah menegaskan penerapan B50 akan dimulai pada 2026,” tambahnya.

Tantangan Produksi CPO di Tengah Target Energi Hijau

Di tengah optimisme terhadap B50, Gulat juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi industri sawit nasional, yakni tren penurunan produksi CPO dalam beberapa tahun terakhir.

“Jika melihat kondisi dan tren produksi CPO sepanjang 2023 hingga 2025, kami memprediksi penurunan produksi bisa mencapai 3–5 juta ton akibat sejumlah faktor,” ungkapnya.

Salah satu penyebabnya adalah pengalihan dan penertiban lahan sawit oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) kepada PT Agrinas Palma Nusantara (Persero). Berdasarkan laporan rapat dengan DPR RI, dari total 833 ribu hektare (ha) lahan sawit, sekitar 509 ribu ha dinyatakan rusak, baik berat maupun ringan, sedangkan 323 ribu ha belum tertanam atau belum menghasilkan.

“Potensi penurunan produksi CPO dari kebun yang rusak tersebut bisa mencapai 1 juta ton. Agrinas tentu membutuhkan waktu 3–5 tahun untuk memulihkan kondisi lahan itu,” jelas Gulat.

Selain itu, Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) juga belum berjalan maksimal. Sejak diluncurkan tahun 2017, capaian realisasi replanting sawit masih jauh dari target nasional.

“Untuk tahun ini saja, PSR baru terealisasi sekitar 21 ribu hektare atau hanya 17,5% dari target 120 ribu hektare di tahun 2025,” katanya.

Padahal, jika program ini dapat dijalankan dengan optimal, produktivitas sawit rakyat dapat meningkat hingga 6–9 ton CPO per hektare per tahun, dibandingkan kondisi saat ini yang masih berada di kisaran 1,7–2,5 ton per hektare per tahun.

Kebutuhan CPO untuk B50 dan Dampaknya terhadap Pasar

Apkasindo memperkirakan kebutuhan minyak sawit mentah untuk mendukung program B50 mencapai sekitar 18 juta ton per tahun. Angka ini setara dengan 39% dari total produksi nasional yang pada 2024 mencapai 46 juta ton, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Dari jumlah tersebut, sebanyak 20 juta ton digunakan untuk kebutuhan domestik atau sekitar 44%, sedangkan sisanya 26 juta ton diekspor ke berbagai negara dalam bentuk CPO maupun produk turunannya.

“Jika B50 diterapkan, konsumsi dalam negeri akan naik menjadi sekitar 25 juta ton, dengan porsi terbesar diserap sektor energi sebesar 18 juta ton. Sisanya digunakan untuk kebutuhan pangan dan oleokimia,” jelas Gulat.

Kenaikan konsumsi domestik diperkirakan akan memperkuat posisi Indonesia di pasar sawit global. Pasalnya, ketika porsi ekspor dikurangi dan konsumsi dalam negeri meningkat, maka tekanan terhadap harga CPO di pasar dunia bisa berkurang, sehingga menciptakan efek positif terhadap harga di tingkat petani.

Langkah strategis ini juga sejalan dengan visi pemerintah untuk memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar berbasis fosil.

Harapan Petani terhadap Implementasi B50

Program B50 tidak hanya dianggap sebagai kebijakan energi, tetapi juga momentum penting bagi petani sawit untuk menikmati nilai tambah dari hasil panennya. Gulat menegaskan bahwa keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada kesiapan pemerintah, industri, dan petani dalam menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku.

“Kami berharap program ini berjalan dengan pengawasan yang ketat dan dukungan peremajaan sawit rakyat. Karena tanpa produktivitas yang meningkat, sulit bagi petani untuk ikut menikmati manfaat harga tinggi secara berkelanjutan,” tegasnya.

Selain memperkuat posisi Indonesia di sektor energi hijau, B50 juga menjadi simbol transformasi menuju industri sawit yang lebih berkelanjutan. Dengan meningkatnya konsumsi domestik dan harga yang lebih stabil, para petani berharap kesejahteraan mereka dapat meningkat seiring waktu.

“Kalau B50 berhasil diterapkan, ini bukan hanya soal energi, tapi juga tentang masa depan ekonomi petani sawit Indonesia,” pungkas Gulat.

Terkini