JAKARTA - Harga minyak dunia mulai bangkit dari level terendah dalam lima bulan terakhir setelah pernyataan mengejutkan datang dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Ia mengungkapkan bahwa Perdana Menteri India, Narendra Modi, berjanji untuk menghentikan impor minyak dari Rusia, langkah yang dinilai berpotensi memperketat pasokan global.
Trump menyampaikan hal tersebut dalam pernyataannya pada Rabu, 15 Oktober 2025 waktu setempat. Ia menegaskan, meski India tidak bisa langsung menghentikan impor “dalam waktu dekat”, komitmen Modi menjadi sinyal kuat bagi pasar energi global bahwa aliran minyak Rusia ke Asia bisa segera menurun.
Setelah pernyataan itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) tercatat naik mendekati US$59 per barel, setelah sebelumnya sempat melemah sekitar 2% dalam dua sesi perdagangan terakhir. Sementara itu, harga Brent ditutup sedikit di bawah US$62 per barel.
Kenaikan harga ini menunjukkan reaksi pasar terhadap potensi berkurangnya pasokan dari Rusia, salah satu produsen minyak terbesar dunia, di tengah ketidakpastian geopolitik dan perang dagang yang belum reda.
India dan China Dianggap Manfaatkan Diskon Minyak Rusia
Dalam beberapa bulan terakhir, India bersama China diketahui menjadi dua negara yang paling diuntungkan dari skema diskon minyak Rusia. Melalui mekanisme batas harga (price cap) yang diinisiasi oleh negara-negara G7, minyak Rusia tetap mengalir ke pasar global dengan harga lebih rendah untuk mencegah kelangkaan pasokan, namun tetap menekan pendapatan Moskwa.
Namun, kebijakan ini menuai sorotan tajam dari Washington. Pejabat senior AS menuding sejumlah perusahaan India memanfaatkan situasi tersebut untuk meraup keuntungan besar, sehingga menjadi salah satu poin negosiasi utama dalam pembahasan kerja sama dagang antara AS dan India.
Di sisi lain, Menteri Perdagangan India menyebut bahwa negaranya memiliki kemampuan untuk menambah pembelian minyak dari AS hingga US$15 miliar, menunjukkan niat India untuk melakukan diversifikasi sumber energi dan mengurangi ketergantungan pada Rusia.
Langkah India ini juga dinilai sebagai bagian dari strategi diplomasi energi yang cermat. Dengan menjaga hubungan baik dengan kedua kubu — Barat dan Rusia — India berusaha mempertahankan keamanan energinya tanpa memicu tekanan ekonomi domestik yang signifikan.
Tekanan Perang Dagang dan Stok Minyak AS
Kenaikan harga minyak kali ini terjadi di tengah tekanan perang dagang antara AS dan China yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Trump mengakui bahwa AS masih “terjebak” dalam konflik ekonomi dengan China, meskipun Menteri Keuangan Scott Bessent sempat mengusulkan penangguhan tarif tinggi terhadap barang-barang asal China guna membuka ruang dialog terkait mineral kritis yang menjadi bagian penting rantai pasok energi global.
Sementara itu, data dari industri minyak menunjukkan bahwa cadangan minyak mentah AS meningkat tajam sebesar 7,4 juta barel pada pekan lalu. Jika data ini dikonfirmasi oleh laporan resmi yang akan dirilis Kamis malam waktu setempat, maka angka tersebut akan menjadi kenaikan terbesar sejak Juli.
Kenaikan stok yang signifikan ini sempat menekan harga minyak di awal pekan, karena pasar mengantisipasi kelebihan pasokan di tengah perlambatan permintaan global. Namun, kabar dari India mengenai kemungkinan penghentian impor minyak Rusia memberi dorongan baru bagi harga untuk kembali naik.
“Langkah India bisa menjadi titik balik dalam pergerakan harga minyak global, karena akan menekan pasokan Rusia di pasar Asia yang selama ini menjadi penopang utama ekspor Moskwa,” ujar seorang analis energi dari Singapura.
Pernyataan tersebut menggambarkan dinamika kompleks antara kebijakan perdagangan, geopolitik, dan fluktuasi harga komoditas energi dunia.
Fluktuasi Harga dan Sentimen Pasar Energi Global
Pasar minyak global kini berada dalam fase yang sangat sensitif terhadap isu geopolitik dan kebijakan energi lintas negara. Ketegangan dagang antara AS dan China serta langkah India yang berpotensi membatasi impor minyak Rusia menciptakan ketidakpastian baru dalam rantai pasokan global.
Pada perdagangan Kamis pagi di Singapura, harga WTI untuk pengiriman November tercatat naik 0,9% menjadi US$58,82 per barel. Sementara itu, Brent untuk pengiriman Desember ditutup turun 0,8% menjadi US$61,91 per barel pada sesi sebelumnya.
Pergerakan harga yang fluktuatif ini mencerminkan sentimen campuran di pasar, di mana kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global bertemu dengan spekulasi pengetatan pasokan akibat kebijakan India dan ketegangan politik yang masih berlangsung.
Selain faktor geopolitik, pelaku pasar juga menyoroti sinyal kebijakan dari Gedung Putih. Trump yang terus menekan sekutu-sekutunya agar mengurangi ketergantungan pada energi Rusia, dinilai berupaya memperkuat posisi AS sebagai pemasok utama minyak dunia. Dengan cadangan besar dan kemampuan produksi tinggi, AS berpotensi menggantikan sebagian pangsa pasar Rusia di Asia jika India benar-benar mengurangi impor dari Moskwa.
Ke depan, analis memperkirakan harga minyak dunia masih akan bergerak volatile, dengan rentang antara US$55 hingga US$62 per barel tergantung pada perkembangan diplomasi energi global. Para pelaku industri juga terus menanti kepastian lebih lanjut dari India terkait jadwal penghentian impor minyak Rusia, yang hingga kini belum diumumkan secara resmi.
“Trump tidak menyebutkan kapan India akan mulai membatasi pembelian minyak Rusia, tetapi pernyataan itu saja sudah cukup untuk mengubah arah pasar,” tulis laporan Bloomberg Energy Review.
Dengan berbagai faktor tersebut, pasar minyak global masih berada dalam situasi yang rentan. Ketegangan geopolitik, perubahan kebijakan dagang, dan dinamika produksi menjadi kombinasi yang akan terus memengaruhi arah harga minyak dunia sepanjang sisa tahun ini.