JAKARTA-Dengan target net zero emission (NZE) pada 2060, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempercepat perdagangan karbon. Meskipun Bursa Karbon sudah berjalan selama setahun, hasilnya masih jauh dari harapan. Data menunjukkan bahwa volume transaksi dan partisipasi pelaku usaha masih sangat terbatas, sementara potensi ekonomi karbon yang bisa diraih mencapai triliunan rupiah.
Data menunjukan bahwa realisasi perdagangan karbon di Indonesia masih sangat terbatas dan belum mencerminkan potensi besar yang dimilikinya. Berdasarkan laporan dari IDX Carbon selaku penyelenggara Bursa Karbon, total volume perdagangan di pasar reguler pada Agustus 2024 hanya mencapai 10 ton CO2e dengan nilai Rp588.000. Secara year-to-date (YtD), volume total mencapai 8.645 ton CO2e dengan nilai Rp511,38 juta.
Di sisi lain, data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa sejak peluncuran Bursa Karbon pada 26 September 2023 hingga 13 September 2024, sebanyak 613.000 ton CO2e telah diperdagangkan dengan nilai Rp37 miliar. Jumlah pelaku perdagangan juga meningkat dari 16 menjadi 78 pelaku.
Meski angka-angka ini tampak signifikan, realisasinya jauh dari potensi yang dihitung pemerintah. Dengan potensi perdagangan karbon Indonesia diperkirakan mencapai Rp3.000 triliun, realisasi saat ini hanya mencapai 1,23% dari total potensi tersebut.
Tantangan dan Keterbatasan
Salah satu indikator yang menunjukkan lambatnya perkembangan pasar karbon di Indonesia adalah rendahnya penyerapan portofolio karbon dari sektor energi. PT Pertamina New & Renewable Energy (NRE), yang memiliki potensi perdagangan karbon hingga 800.000 ton, baru berhasil menjual kurang dari 100.000 ton.
Portofolio karbon ini berasal dari proyek lapangan Lahendong yang dioperasikan oleh Pertamina Geothermal. Menurut Sekretaris Perusahaan Pertamina NRE, Dicky Septriadi, penjualan karbon sudah dimulai sejak awal operasi Bursa Karbon dan telah mendapatkan sertifikasi Sistem Registri Nasional (SRN) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, penyerapan masih didominasi oleh perbankan dan korporasi lainnya, termasuk subholding perusahaan sendiri.
"Potensi portofolio karbon yang kami miliki mencapai 800.000 ton, namun yang terserap hingga saat ini belum mencapai 100.000 ton," ujarnya. Dicky menambahkan bahwa Pertamina NRE masuk ke Bursa Karbon untuk mendukung program pemerintah terkait net zero emission (NZE) pada 2060 serta menciptakan peluang bisnis baru melalui perdagangan karbon.
Dicky juga menyarankan agar perdagangan karbon dapat diperluas ke pasar ritel dan internasional untuk meningkatkan likuiditas dan volume transaksi. Ia percaya bahwa jika individu dapat terlibat dalam pembelian unit karbon, hal ini akan mempercepat proses penjualan dan transaksi.
Akses Internasional Diperlukan
Ketua Umum Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA), Riza Suarga, meyakini bahwa pasar karbon Indonesia akan lebih hidup jika akses internasional dibuka. Permintaan dari luar negeri terhadap proyek karbon asal Indonesia cukup tinggi, dan masuknya investor internasional diyakini dapat meningkatkan likuiditas serta mempercepat penciptaan harga karbon yang lebih kompetitif.
"Indonesia lebih dominan sebagai penyedia carbon offset, dan potensi ekonomi karbon kita akan lebih besar jika akses perdagangan internasional terbuka," jelasnya.
Tantangan Penghitungan Emisi dan Verifikasi
Kendala lain yang dihadapi dalam pengembangan Bursa Karbon adalah kurangnya kapabilitas perusahaan domestik dalam menghitung jejak karbon mereka secara akurat. Menurut Ignatius Denny Wicaksono, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI, kemampuan ini penting karena penghitungan karbon memengaruhi besaran pajak karbon yang akan dikenakan kepada perusahaan.
Untuk mengatasi hal ini, BEI telah menyelenggarakan program edukasi bagi emiten melalui kelas inkubasi bertajuk Net Zero Incubator. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman perusahaan dalam menghitung dan melaporkan emisi GRK mereka.
Di samping itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon, Lufaldy Ernanda, terus mempercepat integrasi sistem antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Bursa Karbon. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan volume perdagangan karbon di masa depan, termasuk opsi perdagangan internasional yang sedang dikaji.
Jisman P. Hutajulu, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menambahkan bahwa partisipasi dalam perdagangan emisi akan terus diperluas. Pada 2023, peserta perdagangan emisi terdiri dari 99 unit PLTU dengan kapasitas lebih dari 100 MW, sementara pada 2024 peserta perdagangan akan bertambah menjadi 146 unit PLTU dengan kapasitas di atas 25 MW.
Meski demikian, salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah terbatasnya jumlah Lembaga Validasi dan Verifikasi (LVV) yang bertugas untuk melakukan verifikasi laporan emisi GRK.