Jakarta - Tepat satu tahun sejak pemerintah meluncurkan perdagangan karbon dan mendirikan Bursa Karbon, namun upaya ini dinilai belum memberikan dampak signifikan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) secara nasional.
Hingga saat ini, volume perdagangan karbon di Indonesia masih jauh dari potensinya. Berdasarkan data IDX Carbon selaku penyelenggara Bursa Karbon Indonesia, total volume perdagangan di pasar reguler pada Agustus 2024 hanya mencapai 10 ton CO2e dengan nilai Rp588.000. Secara year-to-date (YtD), total volume tercatat 8.645 ton CO2e dengan nilai Rp511,38 juta.
Di sisi lain, data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa sejak peluncurannya pada 26 September 2023 hingga 13 September 2024, Bursa Karbon telah mencatat 613.000 ton CO2e yang diperdagangkan dengan nilai Rp37 miliar. Jumlah pelaku perdagangan juga meningkat dari 16 menjadi 78 pelaku.
Meski secara angka tampak meningkat, bila dibandingkan dengan potensi yang dihitung pemerintah, capaian ini masih sangat kecil. Pemerintah memperkirakan potensi perdagangan karbon mencapai Rp3.000 triliun, sehingga realisasi yang tercapai baru sekitar 1,23% dari potensi tersebut.
Sosialisasi Minim, Realisasi Terbatas
Para pelaku usaha yang terlibat dalam perdagangan karbon mengakui bahwa aktivitas di Bursa Karbon masih relatif terbatas. Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya sosialisasi dan terbatasnya jumlah proyek terkait karbon. Bahkan, sebagian besar pelaku perdagangan karbon justru berasal dari sektor perbankan, bukan dari sektor usaha yang menghasilkan emisi besar seperti pertambangan atau transportasi udara.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menyoroti bahwa kurangnya sosialisasi menjadi salah satu alasan utama rendahnya partisipasi pelaku usaha di sektor-sektor tersebut. "Sosialisasi belum maksimal, sehingga pada tahun pertama Bursa Karbon beroperasi, minat pelaku usaha belum sesuai harapan," ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa Bursa Karbon sebenarnya merupakan opsi positif bagi sektor pertambangan untuk mendukung dekarbonisasi. Namun, pelaku usaha juga menunggu kepastian terkait implementasi pajak karbon yang diatur dalam UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). "Pengusaha masih wait and see melihat implementasi pajak karbon. Ada peluang, tapi juga ada kekhawatiran terkait beban usaha," tambahnya.
Peran Perbankan dalam Perdagangan Karbon
Dari sektor perbankan, salah satu pemain utama di Bursa Karbon, beberapa catatan diberikan kepada otoritas terkait. Fransiska Oei, Direktur Compliance, Corporate Affairs & Legal PT Bank CIMB Niaga Tbk., menyebutkan bahwa CIMB Niaga mendukung penuh Bursa Karbon dalam upaya mencapai target net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Hingga saat ini, CIMB Niaga telah membeli 7.000 unit karbon senilai Rp487,44 juta.
Ia juga menekankan pentingnya fleksibilitas dalam aktivitas perdagangan karbon, seperti memperbolehkan perbankan untuk menjual kembali unit karbon yang telah dibeli. "Untuk meningkatkan perdagangan karbon, salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah memberikan keleluasaan bagi bank dalam melakukan trading," jelasnya.
Hal serupa disampaikan oleh Executive Vice President (EVP) Corporate Communication and Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk. (BCA), Hera F. Haryn. BCA telah membeli 71.500 ton CO2e hingga Juni 2024 dan terus mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai target pengurangan emisi karbon. Menurutnya, keterlibatan semua pihak, termasuk sektor swasta, sangat penting untuk mendorong pengembangan Bursa Karbon.
"BCA memahami bahwa kebijakan ini membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk sektor swasta," ungkapnya.