Bioetanol E10 Diklaim Bahlil Bisa Kurangi Konsumsi BBM Nasional

Rabu, 15 Oktober 2025 | 12:08:44 WIB
Bioetanol E10 Diklaim Bahlil Bisa Kurangi Konsumsi BBM Nasional

JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah memperkuat langkah menuju transisi energi bersih melalui penerapan mandatori bioetanol 10 persen atau E10 sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan kebijakan ini berpotensi besar menghemat konsumsi BBM hingga 4,2 juta kiloliter (kl) setiap tahunnya.

Menurut Bahlil, angka tersebut merupakan hasil perhitungan sederhana dari kebutuhan bensin nasional yang berkisar antara 40–42 juta kl per tahun. Dengan porsi campuran bioetanol sebesar 10 persen, penghematan itu dianggap cukup signifikan dalam menekan ketergantungan terhadap impor BBM.

“Kalau 10 persen aja kalau asumsi total bensin 42 juta kl, berarti kan kita menghemat 4,2 juta kalau total dengan subsidi. Contoh ini, contoh ya contoh,” ujar Bahlil kepada awak media di Kantor Kementerian ESDM.

Kebijakan E10 ini menjadi salah satu strategi pemerintah untuk memperkuat kemandirian energi nasional. Selain membantu menjaga ketahanan energi, penerapan bioetanol juga diharapkan mampu mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan dan berbasis sumber daya lokal.

Penghematan Energi dan Penurunan Impor Jadi Fokus Utama

Lebih jauh, Bahlil menekankan bahwa manfaat penerapan E10 bukan hanya soal penghematan konsumsi, tetapi juga pengurangan impor BBM yang selama ini masih mendominasi pasokan energi nasional.

Ia menjelaskan, saat ini kapasitas produksi BBM domestik masih terbatas di angka 14–15 juta ton, sementara kebutuhan nasional mencapai sekitar 40 juta ton per tahun. Akibatnya, Indonesia masih harus mengimpor 25–27 juta ton BBM untuk menutupi selisih tersebut.

“Kalau kita campur, mandatori itu bisa mengurangi impor kita,” tegas Bahlil.

Kebijakan pencampuran bioetanol diharapkan mampu menekan beban impor secara bertahap, sekaligus memberikan nilai tambah ekonomi bagi sektor pertanian dan industri dalam negeri. Dengan meningkatnya kebutuhan etanol, peluang bagi petani tebu dan singkong sebagai bahan baku bioetanol juga semakin terbuka lebar.

Selain itu, penggunaan bioetanol dapat memperkuat upaya pemerintah dalam mengurangi emisi karbon dan polusi udara akibat konsumsi bahan bakar fosil. Langkah ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam transisi energi bersih dan target net zero emission pada 2060.

Target Implementasi E10 Dimulai dari Sektor Non-PSO

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan bahwa implementasi penuh mandatori E10 ditargetkan dapat dimulai pada tahun 2028. Namun, tahap awal penerapannya akan difokuskan terlebih dahulu pada sektor non-public service obligation (non-PSO).

“Dua-tiga tahun, sekitar 2028. Non-PSO dulu, jadi bukan [tahun depan],” jelas Eniya.

Langkah ini dianggap sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah dalam memastikan kesiapan infrastruktur, pasokan etanol, serta sistem distribusi bahan bakar. Dengan penerapan awal di sektor non-PSO, pemerintah dapat melakukan evaluasi terhadap dampak teknis, ekonomi, dan lingkungan sebelum memperluas cakupan mandatori ke seluruh sektor.

Eniya menambahkan, kebutuhan bioetanol untuk mendukung penerapan E10 di sektor non-PSO diperkirakan mencapai 1,2 juta kiloliter per tahun. Jumlah tersebut dinilai masih dapat dipenuhi melalui pengembangan industri bioetanol domestik.

“Kebutuhan bioetanol untuk non-PSO akan mencapai sekitar 1,2 juta kl,” ungkapnya.

Pemerintah juga menyiapkan peta jalan dan regulasi pendukung agar implementasi E10 dapat berjalan secara bertahap dan terukur. Melalui kebijakan ini, diharapkan Indonesia tidak hanya menjadi konsumen energi bersih, tetapi juga produsen bioenergi yang mandiri dan berdaya saing.

Pemerintah Siapkan Tahapan Menuju Penerapan Bioetanol E10

Selain menargetkan penerapan E10 pada 2028, Kementerian ESDM juga berencana untuk mengintensifkan penggunaan campuran etanol 5 persen (E5) pada tahun depan. Upaya ini dilakukan sebagai tahap transisi menuju campuran 10 persen agar industri dan masyarakat memiliki waktu untuk beradaptasi.

“Tahun depan kami fokuskan pada E5 karena penerapannya saat ini masih terbatas,” kata Eniya.

Penerapan E5 menjadi langkah strategis agar masyarakat, terutama pengguna kendaraan bermotor, dapat memahami keunggulan bahan bakar campuran etanol. Dari sisi teknis, penggunaan etanol terbukti mampu meningkatkan efisiensi pembakaran serta mengurangi emisi gas buang kendaraan.

Untuk mendukung keberhasilan program ini, Kementerian ESDM sedang menyusun keputusan menteri (kepmen) yang akan menjadi dasar hukum pelaksanaan peta jalan mandatori bensin campuran etanol. Regulasi ini akan mengatur berbagai aspek, mulai dari standar teknis bahan bakar, tata niaga etanol, hingga mekanisme insentif bagi produsen lokal.

Langkah-langkah tersebut menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam membangun ekosistem bioenergi yang berkelanjutan. Dengan dukungan industri dan masyarakat, implementasi E10 bukan hanya menjadi program substitusi energi, tetapi juga gerakan nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.

Bioetanol E10 Jadi Langkah Strategis Transisi Energi Nasional

Penerapan mandatori bioetanol E10 merupakan salah satu strategi penting pemerintah dalam mendorong diversifikasi energi di tengah fluktuasi harga minyak dunia dan tekanan terhadap subsidi BBM. Selain memberikan dampak ekonomi melalui penghematan impor, kebijakan ini juga akan membuka peluang investasi baru di sektor energi terbarukan.

Bioetanol E10 diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk memperkuat ketahanan energi nasional, sekaligus mendorong terciptanya lapangan kerja di sektor pertanian, industri, dan logistik energi.

Dengan pengelolaan yang tepat, penerapan E10 bukan hanya menghemat 4,2 juta kl konsumsi BBM, tetapi juga mempercepat pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025.

Sebagai bentuk kesiapan, pemerintah akan memastikan seluruh aspek, mulai dari suplai bahan baku etanol hingga sistem distribusi bahan bakar, berjalan secara terpadu dan transparan. Dengan begitu, Indonesia dapat melangkah lebih mantap menuju era energi bersih dan mandiri.

Terkini